Parigi Moutong, Zenta Inovasi – Tingginya kasus kekerasan seksual di Parigi Moutong, Lingkar Belajar (Libu) Perempuan Sulawesi Tengah (Sulteng) mendorong pemerintah daerah dan lembaga terkait lainya untuk memperkuat perspektif perlindungan terhadap anak.
Sebab berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Parigi Moutong terdapat 148 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi sepanjang 2021-2024.
Bahkan, angka tertinggi adalah kekerasan seksual terhadap anak yang mencapai 49 kasus. Sementara perempuan sebanyak dua kasus.
Direktur Eksekutif Libu Perempuan Sulawesi Tengah, Dewi Rana Amir mengatakan, daya resiliensi anak masih lemah jika berhadapan dengan kasus hukum.
“Apalagi kalau pelakunya orang terdekat. Maka, ruang perlindungan anak yang aman harus dipastikan bisa dia jangkau,” ujarnya ditemui di Parigi, Senin, 21 Januari 2025.
Sebab kata dia, perempuan anak dan lansia adalah kaum yang rentan mengalami kekerasan baik fisik maupun psikis.
Misalnya, anak terpaksa tinggal dengan neneknya yang kategori miskin, karena orang tuannya bercerai. Kondisi ini, membuat mereka dapat menjadi korban kekerasan seksual.
“Belum lagi bullying yang bisa saja mereka hadapi setelah menjadi korban,” ujarnya.
Menurut Dewi, tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Parigi Moutong ini sangat mengkhawatirkan.
Tetapi, ada harapan karena kasus-kasus tersebut telah dilaporkan. Artinya, anak sebagai korban mendapatkan penanganan secara hukum serta pendampingan.
“Paling tidak, sampai pada tahapan pemulihan kondisi psikis anak,” imbuhnya.
Ia pun mendorong penguatan akses layanan agar semakin dekat hingga di tingkat desa. Namun, masyarakat harus dilatih memiliki perspektif korban dengan baik.
Selain itu, penguatan koordinasi multi pihak. Sehingga, anak tidak lagi menjadi korban maupun pelaku.
“Memang secara fisik, kami belum ada di Kabupaten Parigi Moutong. Tetapi banyak juga kasus yang berasal dari sini, kita tangani bersama dengan Gerakan Perempuan Bersatu,” ungkapnya.
Berkaitan dengan hak mendapatkan perlindungan hukum, Dewi menekankan, tidak ada impunitas dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dari kelas manapun, termasuk kelompok masyarakat adat.
Ia berharap, proses penanganan kasus di Pengadilan Negeri dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022, tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Sehingga, kedua undang-undang ini dapat saling memperkuat untuk memberikan efek jera terdahap pelaku kekerasan seksual,” tegasnya.
Bahkan, pengawasan dari luar persidangan juga dibutuhkan, misalnya peran lembaga atau organisasi pemerhati anak dan perempuan, termasuk media masa.
Tidak kalah penting adalah perspektif hakim terhadap anak sebagai korban. Karena, perspektif hakim merupakan sisi yang sulit disentuh.
“Memang harus betul-betul disentuh, bagimana kalau yang mengalami itu anak, keluarga dan saudara kita. Sebab, sisi yang tidak bisa disentuh adalah keyakinan hakim,” kata dia.
Olehnya, Libu Perempuan menilai perlu menempatkan hakim perempuan dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak.
“Sebab, pengalaman hidup dan pengetahuan perempuan, dapat menentukannya mengambil tindakan dan keputusan yang adil,” pungkasnya.