Morowali Utara, Zenta Inovasi- Riset mengenai jejak tapak tangan manusia purba di Goa Topogaro, di Desa Gililana dan Desa Koya, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali Utara, mengungkapkan potensi besar dalam pengembangan heritage tourism.
Riset yang dilakukan Universitas Tadulako (UNTAD) bersama Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Sulteng di Goa Topogaro Teluk Tomori itu, memberikan banyak bukti serta meneguhkan adanya nilai sejarah dan budaya yang sangat penting untuk dilestarikan.
Ketua Tim Peneliti, Dr. Ikhtiar Hatta, M.Hum mengatakan, kajian ODCB (Objek diduga cagar budaya) ini dalam wujud lukisan tapak tangan, penting dilakukan untuk mendukung pemeliharaan cagar budaya tersebut baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat sekitarnya.
“Lukisan tapak tangan ini memiliki nilai historis yang sangat penting, karena menjadi penanda jejak arkeologis dari suatu nasyarakat pada masa tertentu,” ungkap Dosen Antropologi Untad itu.
Meski kata Ikhtiar, kajian ini tidak serta merta dapat mengungkap secara jelas fenomena antropologis dan sosiologis dari kehidupan masyarakat yang meninggalkan jejak tersebut, tetapi setidaknya dapat menjadi pemantik untuk kajian selanjutnya.
Lanjut dia, tapak tangan yang ada di beberapa tebing batu di Morowali Utara perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak, karena merupakan jejak arkeologis yang tergolong sangat langka.
“Berdasarkan informasi, banyak wisatawan yang telah berkunjung melihat tapak tangan tersebut baik domestik maupun manca negara. Artinya tapak tangan ini pada dasarnya menarik minat dari orang luar untuk menjadikannya sebagai objek kunjungan wisata atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan,” jelasnya.
Sayangnya kata dia, ditemukan adanya aktivitas pertambangan di sekitar lokasi lukisan tapak tangan tersebut. Maka diyakini itu akan mempengaruhi keberadaan (eksistensi) dan kondisi lukisan tapak tangan tersebut.
Ikhitiar berharap, keberadaan lukisan tapak tangan tersebut dibawa ke dalam diskusi yang melibatkan semua komponen dalam masyarakat, pemerintah setempat, pelaku budaya, pemerhati Sejarah, Perusahaan dan Lembaga Adat.
Ia menambahkan, jika merujuk pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar budaya, dijelaskan sisi penting dari cagar budaya adalah bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting.
Artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ikhtiar mengatakan, penetapan menjadi Cagar Budaya juga sudah diatur pada undang-undang cagar budaya, Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 17 bahwa penetapan menjadi Cagar Budaya adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.
“Dengan Kriteria, Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya Ketika sudah memenuhi kriteria: berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa,” tuturnya.
Sehingga selaku akademisi, pihaknya berharap, keberadaan jejak lukisan tapak tangan mendapat perhatian yang serius dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan.
Sementara itu, Haliadi Sadik, SS., M.Hum., Ph.D selaku tim peneliti dan Dosen Pendidikan Sejarah Untad, mengatakan, Hand stancil atau seni cadas yang ada di Goa Topogaro Morowali Utara dalam perspektif sejarah adalah salah satu bukti adanya pemukiman manusia yang bermula di gua.
“Itu juga menandakan bahwa disitulah awal mula seni. Karena tanda itu merupakan bukti adanya perubahan dari masa perpindah-pindah ke masa bercocok tanam. Itu ditandai bahwa kalau manusia pada masa itu sudah bermukim di suatu tempat atau gua.
Menurut Haliadi, ketika manusia sudah bermukim berarti mereka sudah menerapkan pola tinggal menetap. Maka dengan itu mereka sudah punya waktu luang, yang dimanfaatkan untuk wahana berkreasi memunculkan seni, seni itu yang kina kenal dengan hand stancil atau seni cadas,” kata dia.
Diketahui tim yang tergabung dalam riset tersebut yaitu, Dr.Ikhtiar Hatta, M.Hum selaku ketua tim, Dr. Haliadi Sadi, M.Hum, Ismail, S.Pd, M.Hum, Muh. Zainuddin Badollahi S,Sos, M,Si, Marfi Rahmat S,Sos