Parigi Moutong, Saurus Trans Inovasi – Akademisi buka ruang diskusi publik yang diangkat dari Tesis Imamul Haq, membahas komodifikasi subsistensi dan transformasi cara produksi petani di pegunungan Tobaku Provinsi Sulawesi Tengah. Jumat malam 12 Mei 2022.
Imamul merupakan peneliti Antropologi UGM, yang melakukan riset etnografi pada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan pegunungan Tobaku, khususnya di Desa Banggaiba Kabupaten Sigi pada tahun 2015 silam.
Dalam penelitian tersebut dia menjelaskan, petani Pegunungan Banggaiba tidak bisa disebut suku terasing, hanya karena mereka tinggal ditempat terpencil dengan minimnya berbagai akses seperti infrastruktur jalan, layanan pendidikan, kesehatan dan juga akses informasi.
Kata dia, jika melihat dinamika agraria pada petani pegunungan di wilayah Tobaku Sulawesi Tengah, terkonfirmasi bahwa mereka sudah terhubung dengan pasar global sejak zaman kolonial melalui komoditi diantaranya Damar, Kopi dan Rotan lalu belakangan, kakao.
“Sejak dulu sebetulnya mereka sudah terhubung dengan pasar global yaitu Eropa, karena hasil komoditi yang mereka tanam,” ungkap Dosen UIN Makassar itu.
Lanjut Imamul, ketika dia melakukan riset di wilayah Tobaku, petani sudah menanam komoditi kakao, hal itu diikuti dengan hadirnya komunitas-komunitas pasar yang kemudian membentuk stratifikasi sosial berdasarkan sumber-sumber agraria.
Pada risetnya, Imamul setidaknya menyimpulkan, pertama, ada sistem penguasaan tanah yang masih berlaku saat itu. Kedua, jenis komoditas seperti kakao memiliki mata rantai yang sangat panjang, dengan hadirnya para tengkulak sehingga petani dirugikan karena terbatas mengakses pasar.
Dalam diskusi daring itu, Kepala Desa Banggaiba Edwar Edu menanggapi, tahun 1990 wilayah Tobaku adalah penghasil kakao namun belakangan merosot sehingga ada yang mulai beralih ke komoditi lain seperti sawit.
Perkenalan petani Banggaiba dengan sawit ini, dibawa masuk dari Sulawesi Barat. Karena Tike yang merupakan salah satu wilayah perkebunan Sawit terhubung dengan Desa Banggaiba melalui Sungai Lariang.
Menurut Kades Edu, petani sudah terbiasa menggunakan perahu katinting melewati Sungai Lariang untuk membawa hasil panenya.
Jika memilih melewati Sungai Lariang, perahu mereka akan memasuki wilayah Sulawesi Barat lalu melanjutkan perjalanan darat menuju Kota Palu, untuk menjual hasil bumi.
Jika memilih jalur darat dari Desa Banggaiba, hanya bisa ditempuh dengan ojek motor karena medan yang cukup sulit.
Dalam diskusi yang berlangsung sekitar 3 jam itu, sejumlah akademisi dan aktivis orang Tobaku hadir memberikan pandangan kritisnya terhadap hasil penelitian Imamul Haq.
Ferry Rangi selaku salah satu penginisiasi diskusi, berharap, hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di wilayah Tobaku, perlu didiskusikan dan ditindaklanjuti oleh generasi Tobaku.