Parigi Moutong, Zenta Inovasi – Seorang siswi (F) yang kini duduk di bangku kelas 2 SMA Negeri 1 Parigi, Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah, diduga menjadi korban penganiayaan guru, pada Selasa, 5 November 2024.
Anak yang masih berusia 16 tahun itu, didorong dari anak tangga lima hingga jatuh dengan posisi terlentang ke lantai dasar. Tindakan tersebut, diduga dilakukan seorang guru perempuan.
Guru berinisial AM ini lalu menonjok dan mencakar wajah korban. Dia baru menghentikan aksinya, setelah beberapa siswa lainnya menangis histeris melihat apa yang dialami korban.
Ayah korban, Fakrudin, mengaku tidak bisa menoleransi tindakan kasar yang dialami anaknya itu.
“Saya tahu kejadian ini, setelah anak saya menelpon, minta dibawa ke rumah sakit, karena jatuh dari tangga, didorong gurunya,” ungkap ayah kandung korban, Fakrudin, di Parigi, Selasa.
Fakrudin datang ke sekolah dan setelah tiba di sana, ia mengaku, langsung diantarkan guru piket ke ruangan Kepala Sekolah (Kepsek) SMA Negeri 1 Parigi.
Di ruangan tersebut, kata dia, Kepsek SMA Negeri 1 Parigi membenarkan tindakan yang dilakukan guru AM merupakan bentuk kekerasan terhadap anak.
Namun, sang Kepsek meminta kepadanya tidak membawa persoalan tersebut ke ranah hukum, dan menyelesaikan secara kekeluargaan.
“Saya tidak masalah kalau tindakan yang dilakukan terukur. Tetapi kalau sudah mendorong seperti itu, saya tidak bisa terima,” tegasnya.
Parahnya pasca melakukan penganiyaan, sang guru tak sedikitpun merasa bersalah. Bahkan, meminta korban melaporkan apa yang dialaminya kepada orang tuannya.
Fakrudin yang merasa keberatan dengan perbuatan tersebut, akhirnya melaporkan tindakan sang guru ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Parigi Moutong.
Ia berharap, sang guru itu dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan diberikan saksi hukum yang setimpal.
“Saya berharap anak saya mendapatkan keadilan. Mereka seharusnya bisa dilindungi dari tindakan kekerasan di lingkungan sekolah,” imbuhnya.
Selain itu, ia pun mengaku, sangat menyayangkan sikap para guru yang terkesan tidak memiliki empati terhadap anaknya.
Pasalnya, korban F sempat meminta diantarkan ke rumah sakit kepada para guru, karena merasa sakit di bagian kepala pasca kejadian.
“Tapi para guru, hanya meminta untuk tetap tenang, dan tidak membolehkan anak saya menelpon saya,” ucap Fakrudin.