Mengenal Sistem Pertanian Rotasi Ala Suku Lauje Parigi Moutong

Penulis : Fadel, S.P.

Parigi Moutong, Saurus Trans Inovasi – Pertanian sebagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya hayati, yang salah satu manfaatnya adalah menjadikan bahan pangan bagi umat manusia.

Bacaan Lainnya

Sejak dulu hingga kini pertanian terus mendapat pembaruan dari segi inovasi maupun teknologi.

Saat ini dunia pertanian tengah difokuskan pada bagaimana pertanian dapat menghasilkan bahan pangan yang kuantitas dan kualitasnya terjamin, serta bebas dari residu kimia yang berbahaya  untuk kesehatan.

Sebagai negara yang majemuk, ragam suku di Indonesia memiliki kekayaan kultural tersendiri yang mempengaruhi berbagai dimensi kehidupan, tak terkecuali bidang pertanian.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca mengenal  sistem pertanian Suku Lauje Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah, yang saya namakan Pertanian Rotasi (Agriculture Rotation).

Sistem pertanian ini saya rasa patut diketahui oleh khalayak banyak, agar dapat diejawantahkan sebagai salah satu sistem pertanian yang baik untuk dikembangkan.

Sebelumnya kita perlu tahu dulu terkait Suku Lauje. Suku ini adalah salah satu suku yang mendominasi wilayah Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah.

Suku ini memiliki populasi terbanyak di Kabupaten Parigi Moutong, meskipun ada juga sebagian di Kabupaten Toli- Toli dan Kabupaten Donggala. Populasi Suku Lauje di Kabupaten Parigi Moutong tersebar di beberapa kecamatan diantaranya kecamatan Tinombo, Palasa, sebagian kecamatan Tomini, Sidoan, dan Tinombo Selatan serta sebagian kecil di Ampibabo.

Bahasa suku ini adalah Bahasa Lauje serta terbagi atas dua wilayah penduduk yakni Lauje atas (pegunungan) dan Lauje pesisir (bawah pegunungan). Namun pembagian ini menurut saya tidak terlalu berarti karena banyak Suku Lauje yang sudah berbaur dengan suku lain melalui jalur perkawinan.

Suku Lauje memiliki kemandirian adat budaya yang sangat menarik untuk ditelisik khususnya terkait dengan cara masyarakat tradisional Lauje dalam melakukan aktifitas pertanian.

Sistem Pertanian Rotasi (Agriculture Rotation) adalah sebuah cara Suku Lauje bercocok tanam atau melakukan aktifitas budidaya pertanian, yakni melakukan perpindahan lahan dari satu titik ke titik lain dan seterusnya lalu berpindah ke titik semula.

Sistem pertanian khas orang Suku Lauje ini menurut saya bukanlah merupakan konsep pertanian ladang berpindah, karena sifatnya berotasi yakni berpindah dengan cara berputar setelah sekian lama dan balik lagi ke titik semula.

Menurut salah satu warga Suku Lauje Kecamatan Tinombo, Kifyan mengatakan, perpindahan lahan bertani ini oleh masyarakat Suku Lauje disebut “Mombali” dalam bahasa Lauje artinya pindah dan “Meteule” artinya kembali.

Konsep Mombali dan Meteule (Pindah – Kembali)  dilakukan dengan cara, setelah melakukan budidaya di suatu lahan sampai panen kemudian dia akan berpindah ke lahan baru, setelah itu dalam beberapa waktu lama maka ia akan kembali ke bekas kebun atau lahan yang pernah ditanami tersebut dan dalam bahasa Lauje disebut “ulat”.

“Biasanya kalau sudah ditanami, nanti sudah habis panen baru pindah ke lahan baru, nanti setelah sekian waktu lahan yang ditinggalkan itu akan ditanami ulang, karena orang Lauje berpandangan bahwa vitamin tanah sudah kembali setelah ditinggal sekian lama,” ujar Kifyan.

Sementara itu, menurut Amarkandi kepala UPT Penyuluhan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Parigi Moutong di Kecamatan Tinombo,  konsep pertanian orang Suku Lauje bersifat recovery atau mengistirahatkan tanah dalam jangka waktu tertentu agar terjaga kesuburannya.

“Biasanya petani disini (Kecamatan Tinombo) yang buka lahan di pegunungan itu didominasi Suku Lauje , mereka berpindah lahan kalau sudah ditanami supaya lahan itu bisa subur kembali,” ujarnya.

Dalam praktek pertaniannya, menurut Amarkandi petani Suku Lauje masih bertani secara tradisional dan tidak banyak yang menggunakan perlakuan secara kimiawi dalam perawatan tanam maupun untuk pencegahan dan pengendalian Hama Penyakit Tanaman (HPT).

“Rata rata masih bersifat tradisional sehingga pertaniannya organik, jarang yang gunakan pupuk apalagi pupuk dan obat kimia,” tuturnya.

Dari beberapa hal tersebut saya mengambil beberapa simpulan dimana kebudayaan Suku Lauje dengan pertanian rotasi mempunyai tiga manfaat yakni ; pertama, menjaga kesuburan tanah dengan Pertanian Rotasi yang masih melibatkan praktik-praktik tradisional bermanfaat untuk kelanjutan alam secara ekologis.

Petani biasanya menggunakan metode organik atau tradisional dalam mengolah tanah, menggunakan pupuk alami, dan mengelola air dengan bijaksana.

Pendekatan ini dapat membantu menjaga kesuburan tanah, keanekaragaman hayati, dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Bahkan jikalaupun menggunakan aplikasi kimiawi, dengan memindahkan ladang tani dalam jangka waktu tertentu memberi waktu bagi ekosistem untuk pulih kembali secara alami.

Kedua, mengurangi intensitas serangan hama atau penyakit intensitas serangan hama dan penyakit akan menjadi berkurang disebabkan faktor pergiliran lahan yang dapat memutus mata rantai hama maupun penyakit apalagi ditunjang dengan perlakuan pertanian secara organik.

Ketiga, melestarikan budaya lokal
Pertanian Rotasi sering kali melibatkan praktik-praktik tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini berperan dalam memelihara budaya lokal, serta menjaga pengetahuan tradisional masyarakat.

Meski begitu, sistem pertanian rotasi oleh Suku Lauje masih perlu penelitian lebih mendalam untuk dapat dikembangkan agar relevan dengan dunia pertanian saat ini yang tengah fokus pada menghasilkan keamanan dan kesehatan produk pertanian khususnya pangan.

Apalagi sistem pertanian rotasi ini lebih dikenal dengan pertanian ladang berpindah yang masih dianggap menjadi salah satu penyebab pembakaran hutan untuk dijadikan lahan tanam.

Namun terkait ini saya melihat sistem pertanian rotasi oleh Suku Lauje masih berpijak pada kearifan lokal, dimana tidak sembarang untuk melakukan pembukaan lahan. Ada tradisi dan ritual tertentu dalam membuka lahan, untuk hal itu dapat dibahas pada tulisan lain yang tersendiri .

(Penulis adalah Penyuluh Pertanian Lapangan, Kecamatan Tinombo Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah dan Founder TBM Tinombo Mombaca)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *