NASIONAL, Saurus Trans Inovasi – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyebut, pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat Perubahan iklim.
Hal tersebut ia ungkapkan, saat pembukaan Sekolah Lapang Iklim (SLI), di Balai Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, baru-baru ini.
“Dampak Perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Jika tidak, ketahanan pangan nasional akan terancam,” tandasnya, melansir bmkg.go.id.
Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan. Kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami gagal panen atau puso semakin luas.
Menurutnya, sebagai ujung tombak pertanian, petani harus memiliki bekal ilmu pengetahuan untuk dapat memahami fenomena cuaca dan iklim beserta perubahannya.
“Dengan mengetahui lebih dini, petani dapat melakukan perencanaan mulai dari penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, pengelolaan air, dan lain sebagainya,” terangnya.
Kata ia, melalui SLI, BMKG berupaya membantu petani memahami informasi tentang cuaca dan iklim karena kegiatan yang dilakukan di tempat terbuka.
Ia berharap, petani dan tenaga penyuluh pertanian bisa memanfaatkan informasi dan prakiraan cuaca dengan baik serta mampu beradaptasi dengan situasi cuaca dan iklim kekinian.
Ia mengungkapkan, fenomena El Nino dan IOD Positif yang terjadi membuat musim kemarau tahun ini dapat menjadi lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah.
Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, maka pada musim kemarau ini angka tersebut menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali.
“Puncak kemarau kering ini diprediksi akan terjadi di bulan Agustus hingga awal bulan September dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021 dan 2022,” jelasnya.